Foto : Johan Rumkorem Aktifis Anti Korupsi.
TIMIKA| Komunitas Masyarakat Adat Papua Anti Korupsi (LSM Kampak Papua) Meminta Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto Cabut IUP Nikel Raja Ampat Karena Sudah Menabrak UU No 1 Tahun 2014.
Aktifis Anti Korupsi LSM Kampak Papua, Johan Rumkorem, meminta Presiden Prabowo segera cabut IUP dan hentikan aktifitas penambangan dan priksa siapa di balik itu karena menurutnya Raja Ampat tidak layak menggunakan metode Penambangan Terbuka”, ujar Johan, Sabtu (7/6).
Johan mengulaskan, Kepulauan Raja Ampat merupakan pulau Wisata yang terkenal di dunia, jadi bisnis penambangan di sana segera di hentikan karena sistem penambanganya tidak layak, meskipun perusahan itu mengumumkan perlengkapan dokumen atau ada Feasibility studynya, tapi intinya bahwa itu daerah wisata, bukan daerah penambangan, tuturnya.
Ia menambahkan, segera hentikan karena sistem penambangan terbuka, atau Open Pit Mining tidak layak digunakan di Raja Ampat meskipun ada endapan mineral di sana.
“Raja Ampat itu pulau wisata bukan pulau tambang, kalau nambang, akibatnya, menghilangkan vegetasi, mengubah topografi, mencemari air serta tanah, sehingga mengurangi daya tarik wisata, lagian wilayah penambangan tersebut menabrak UU No 1 Tahun 2014,” ungkapnya.
Bukan saja itu, ia menjelaskan, penyebabnya juga pada erosi dan tentu saja menghilangkan keanekaragaman hayati, kalau suda ada kerusakan pemandangan alam seperti ini, mana yang mau jadi daya tarik wisata asing ke daerah itu, pasti peminatnya kurang karena pemandangannya sudah di rusaki oleh mafia-mafia tambang di pulau itu,” tegas Johan.
Dikatakan pula, “Sektor pertambangan itu pusat lahan korupsi,” tegas aktivis antikorupsi asal Papua, Johan Rumkorem, kepada media online, Sabtu (7/6). Menurut Johan, korupsi paling subur dan berbuah ada pada sektor pertambangan, tapi belum di sentuh. Ia menilai tumpang tindih IUP merupakan pintu masuk suap menyuap dan itu kejahatan luar biasa secara sistematik, terstruktur dan masif, seharusnya dibongkar.
“Kami menduga ada mafia tambang yang duduk manis di Istana dan Senayan yang menjadi pilot mining nyetir aktifitas tambang di Raja ampat. Mereka ikut bermain, makanya IUP bisa tetap lolos dan aman dari beberapa anak perusahan lainya,” ujar Johan.
Lebih lanjut, Johan mengungkapkan bahwa pihaknya pernah melaporkan 124 IUP kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI). Menurutnya, banyak dari IUP tersebut diduga ilegal, makanya kami minta Bapak Presiden Prabowo segera priksa mafia-mafia tambang di Papua, khususnya Raja Ampat.
Ia juga menyoroti proses penetapan IUP/WIUP (Wilayah Izin Usaha Pertambangan) yang dianggap tidak memperhatikan potensi kerugian negara dan risiko terhadap kawasan hutan lindung. Bahkan, kata Johan, ada perusahaan yang mendapatkan izin meskipun tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) maupun studi kelayakan yang memadai.
“Kadang pemberian IUP tidak dilihat dari aspek lingkungan. Mereka tak peduli dampaknya, yang penting bisa menambang. Itu bentuk kejahatan luar biasa,” ujar alumni Teknik Pertambangan Universitas Trisakti Jakarta ini.
Johan juga menyinggung sejumlah perusahaan tambang yang tidak memenuhi kewajiban menyetor dana jaminan reklamasi dan pascatambang, namun tetap lolos mendapatkan izin.
Situasi ini diperparah dengan tumpang tindih status IUP yang tidak clean and clear, tunggakan pajak, dan lemahnya pengawasan negara terhadap penerimaan negara bukan pajak dari sektor ini, bahkan merusaki lingkungan, apalagi daerah seperti Raja Ampat, itu tidak boleh nambang di sana.
“Jadi potensi-potensi seperti ini yang kami minta supaya Presiden Prabowo Perintahkan Jaksa Agung segera priksa pemilik IUP nikel di Raja Ampat,” imbuhnya.
Johan menilai bahwa Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) menjadi titik paling rawan dalam pengelolaan tambang nikel di Raja Ampat. Padahal, daerah tersebut dikenal sebagai surga wisata dunia.
“Negara harus tegas. Jangan hanya rakus menambang hingga lingkungan rusak dan negara merugi. Semua dokumen Amdal dan IUP harus diperiksa,” tegas Johan.
Lebih jauh, ia menduga adanya gratifikasi dalam proses penetapan IUP Nikel di Raja Ampat. Hal ini, menurutnya, menjadi alasan mengapa Gunernur Papua barat daya dan Bupatinya terkesan diam, malah ikut – ikutan sana sini
“Sangat disayangkan, masyarakat adat marah tapi negara justru diam. Tidak boleh menambang tanpa koordinasi dengan masyarakat adat. Ini tanah adat, bukan tanah kosong,” tutup Johan. (Redaksi)