Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Tony Wenas di lokasi konstruksi smelter Manyar di kawasan industri JIIPE, Gresik, Jawa Timur.(Foto/Sumber Google)
TIMIKA | Ketua Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (LEMASA), Menuel John Magal, menyoroti pengelolaan pasir sisa tambang (sirsat) atau tailing PT Freeport Indonesia (PTFI) yang tidak melibatkan pihak tuan tanah di Mimika, dalam hal ini LEMASA dan LEMASKO (Lembaga Musyawarah Adat).
Menurutnya, kewajiban pelibatan masyarakat pemilik hak ulayat adat dalam pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) di Mimika bersama Freeport sudah diatur dalam MoU tahun 2000.
“Masyarakat harus dilibatkan dalam pengelolaan sumber daya alam, itu diatur dalam MoU 2000. Dalam pasal 5 ayat 5 mengatakan, ‘PTFI wajib melibatkan masyarakat Amungme dan Kamoro dalam pengembangan dan pengelolaan sumber daya alam’, sehingga itu kewajiban PTFI,” ujar Magal kepada media, Minggu (18/8).
Menurutnya di Mimika ada masyarakat pemilik hak ulayat adat yang harus dihormati hak-haknya sehingga perlu dilibatkan dalam pengelolaan SDA yang bukan menjadi kegiatan utama izin penambangan Freeport.
“Jangan main sendiri terus. Jangan pikir tanah ini tidak bertuan. Kami tuan tanah itu ada. Jadi Freeport juga harus berbisnis dengan etika. Jangan menabrak, mengabaikan etika. Menghormati orang yang punya tanah di sini. Kami tidak meminta hormat tapi memang Freeport wajib menghormati tuan tanah,” semburnya.
Ketua LEMASA John Magal menjelaskan, MoU 2000 seakan seperti sudah ditinggalkan dan tidak diperhatikan lagi penerapannya.
Padahal MoU 2000 itu dinilainya penting karena mengatur ruang lingkup kerja sama pelibatan masyarakat Amungme dan Kamoro sebagai tuan tanah.
“Mengacu pada kesepakatan umum, MoU 2000, yang mengatur tentang ruang lingkup kerja sama. Pasal 3 mengatur ruang lingkup kerja sama,”
“Mengusulkan dan menata program-program kerja yang terkait dengan tanah adat suku Amungme dan Kamoro dalam rangka pemberdayaan masyarakat setempat sesuai dengan bidang-bidang dan kawasan-kawasan yang telah disepakati kedua belah pihak. Selain aspek sumber daya manusia, sosial, ekonomi, hak ulayat, hak asasi manusia dan lingkungan hidup, kesepakatan ini tidak meliputi aspek politik,” bebernya.
Magal mengungkapkan, perizinan dari pemerintah mengatur kegiatan utama penambangan PTFI adalah untuk mineral logam berharga dan bukan untuk sumber daya alam lainnya, seperti pasir, batu, batu kapur dan lainnya.
“Dan saya lihat bahwa PTFI izinnya itu, menambang. Jadi untuk tanah, pasir, batu dan lain-lain itu bukan kegiatan utama Freeport yang diizinkan oleh negara,”
“Yang diizinkan oleh negara itu adalah menambang di atas (di Tembagapura). Jadi hal-hal seperti ini, masyarakat jangan diabaikan terus menerus,” tegasnya.
Ia merasa kesal sebab hak-hak warga penghuni asli Mimika terus menerus diabaikan.
“Sebagai Ketua Lemasa saya mau menegaskan kepada PTFI bahwa PTFI itu tidak menghargai, tidak menghormati kesepakatan MoU 2000. Dan sampai hari ini, itu didiamkan menjadi barang mati. Dan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak dari suku Amungme dan Kamoro itu diinjak-injak,” ungkapnya.
Menurutnya dengan mengabaikan MoU 2000 maka begitu banyak pelanggaran yang terjadi.
“Ya, itu pelanggaran lingkungan hidup, pelanggaran hak-hak asasi manusia, hak-hak ulayat diabaikan dan semua itu kacau balau semua,” ujar Magal.
Terhadap pengabaian pelibatan masyarakat adat ini, LEMASA akan menginvestigasi kegiatan bukan utama Freeport sehingga hak masyarakat dapat dilibatkan dalam pengelolaan SDA selain mineral logam berharga.
“Lemasa akan periksa pemanfaatan tailing, tanah dan apapun yang selama ini Freeport lakukan,” tegasnya.
“Freeport harus melibatkan Lemasa dan Lemasko dalam hal mengelola sumber daya alam yang bukan kegiatan utama. Seperti tanah, batu, batu kapur, dan lainnya itu harus melibatkan Amungme dan Kamoro dalam hal ini Lemasa dan Lemasko,” tandas Ketua LEMASA John Magal. (Red)