Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia, Teguh Santosa
JAKARTA,TP.COM| Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia, Teguh Santosa menyatakan di Indonesia saat ini, ada ancaman bagi kebebasan setelah berbicara.
Jadi, menurut Teguh ancaman itu bukan muncul ketika berbicara, tapi dikala setelah berbicara.
Karena itu, lanjut Teguh, di kalangan aktivis maupun warga yang kritis digunakan istilah-istilah yang berfungsi menyamarkan, ketika mereka berpendapat.
“Istilah-istilah seperti Wakanda dan Konoha pun lahir, yang menggambarkan bahwa kondisi saat ini tak menguntungkan bagi siapapun yang menyinggung tokoh yang terlanjur dianggap merakyat dan populis,” ungkap Teguh dalam podcast Narada Syndicate yang dipandu oleh Kusfiardi, seorang aktivis 1998, Rabu (20/12).
Teguh melanjutkan, persoalan terkait kebebasan setelah berbicara juga ditandai dengan banyak munculnya buzzer-buzzer anonim di dunia digital.
Meskipun, ada juga dari buzzer-buzzer itu yang menggunakan akun asli.
Teguh pun menyatakan, kondisi ini tak bisa dilepaskan dari demokrasi liberal. Dia mengatakan, setelah reformasi semua aspek diliberalisasi, termasuk politik.
Dari liberalisasi politik ini juga, sosok Joko Widodo (Jokowi) muncul sebagai sosok yang dianggap populis dan antitesis para penguasa di masa sebelumnya yang elitis.
“Namun harus diingat, demokrasi itu tidak mengenal Satrio Piningit. Dalam demokrasi, semua orang harus jelas track recordnya. Tak bisa dibikin bubble,” ujar Teguh.
Teguh pun mengungkapkan, kondisi semacam ini muncul salah satunya karena banyak pihak menganggap Orde Baru sudah selesai setelah Soeharto lengser dari kursi kepresidenan pada 1998.
Setelah itu, Pemilu 1999, Pemilihan Presiden Langsung 2004 maupun Pilkada Langsung dianggap sebagai ‘obat’ bagi kehidupan bernegara.
“Kita fokus pada pergantian Presiden, tapi kita lupa yang sesungguhnya kita perangi itu kata sifat,” ujar Teguh.
Pewarta/Editor: Ray