Anggota DPRP Poksus Jhon NR Gobai.(Foto:DPRP/tambelopapua.com)
TIMIKA| Di beberapa daerah di papua, terdapat ratusan hektar bahkan ribuan hektar sawit yang ditanam oleh perusahaan-perusahaan yang diberikan izin oleh pemerintah. Sementara konflik antara masyarakat dan perusahaan kelapa sawit di Papua juga masih terus terjadi, terdapat pro dan kontra terhadap investasi sawit.
Ada yang mendukung perusahaan ada juga yang meminta perusahaan tutup.Sementara itu, Penerimaan resmi dari sawit selama ini disetor ke pemerintah pusat, kepada pemerintah daerah jumlah yang diberikan masih sangat kecil tidak sebanding dengan jumlah sawit dan minyak sawit yang keluar dari pohon sawit ditanam di tanah Papua.
Atau mungkin kecil karena masuk ke kantong pribadi oknum pejabat.untuk itu, menurut kami tidak perlu lagi ada penambahan kebun kebun sawit, kehadiran sawit telah merusak sumber kehidupan masyarakat kehadiran sawit juga telah merusak sumber hidup, sumber tanaman obat dari masyarakat, kehadiran sawit juga telah membuat banyak daerah pinggiran banjir, hal penting yang harus dilakukan adalah kebun kebun yang telah ada itu haruslah dipikirkan untuk dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat pemilik tanah dan daerah dalam bentuk dana bagi hasil (DBH).
_Sebagian kecil yang ditransfer ke daerah_
Menurut Wiko Saputra, Penerimaan pajak terdiri atas penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), dan bea keluar (BK). Sementara PNBP terdiri atas pungutan ekspor (PE) dan penerimaan dari penyaluran benih sawit. Pada 2018, total penerimaan negara sekitar Rp27 triliun (Kementerian Keuangan, 2018).
Meski demikian, hanya sebagian kecil hasil penerimaan negara dari sawit yang ditransfer ke daerah. Misalnya, PBB perkebunan dan PPh pasal 21 (karyawan) dan pasal 25/29 (orang pribadi). PBB perkebunan 90% sudah ditransfer ke daerah, sedangkan PPh pasal 21 dan pasal 25/29 baru 20%. Keduanya pun bukan penerimaan utama dari sektor sawit karena penerimaan terbesar adalah PPh badan dan pungutan ekspor. Padahal, merujuk pada Undang-Undang Pemerintahan Daerah, sebagian besar kewenangan dalam tata kelolanya berada di tangan pemerintah daerah, misalnya, kewenangan dalam perizinan dan pengawasan.
Artinya, secara prinsip dasar desentralisasi, kasus ini tidak lazim, karena tidak berfungsinya prinsip money followfunction.https://nasional.sindonews.com/read/251450/18/dana-bagi-hasil-sawit-1606745481?showpage=all.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2023 tentang Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit. Sebagaimana telah diatur pada Pasal 5,bahwa DBH Sawit dibagikan kepada: provinsi yang bersangkutan sebesar 20% (dua puluh persen); kabupaten/kota penghasil sebesar 60% (enam puluh persen); dan kabupaten/kota lainnya yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebesar 20% (dua puluh persen).
_Bagaimana di Papua_
Provinsi dan kabupaten kabupaten di Papua tidak cukup hanya menjadi penonton atau hanya memilih menyaksikan dibukanya kebun kebun sawit di Tanah ini tetapi haruslah kebun kebun sawit ini dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat yang ada disekitar tetapi juga bagi daerah harus ada DBH Sawit.
Hasil dari dana bagi hasil ( DBH) dari perkebunan kelapa sawit ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau dapat digunakan untuk pengembangan pengembangan masyarakat yang ada di sekitar kebun kebun kelapa sawit dan juga pengembangan pengembangan masyarakat adat dan kampung-kampung yang ada di sekitar kelapa sawit.
*Kembalikan tanah adat*
Pemerintah dalam UU Perkebunan mengatur bahwa 20% dari total lahan sawit harus menjadi lahan plasma untuk masyarakat, namun dalam kenyataannya kadang sulit dikerjakan dengan baik.
Untuk itu, dengan melihat aksi menolak perkebunan sawit akhir akhir ini di Tanah Papua,mungkin pemerintah harus menghentikan pembukaan lahan sawit yang baru dan menghentikan pembukaan lahan sawit yang sdah di ijinkan tetapi belum dibongkar agar dikembalikan kepada masyarakat, namun tetap sesuai aturan lahan plasma disediakan untuk masyarakat, ini penting sebagai bentuk pengakuan dan pènghormatan bagi masyarakat adat sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat 1 huruf B, UUD 1945
_Penutup_
Pemerintah pusat haruslah membuat mekanisme reklaim tanah adat atau pengembalian tanah yang telah diberikan ijin sebagai lahan kebun sawit namun belum di kerjakan8 kepada masyarakat pemilik tanah artinya peta wilayah yang di ijinkan harus dirubah dengan mengeluarkan wilayah yang dikembalikan kepada masyarakat.
Pemerintah telah memberikan payung hukum mengenai dana bagi hasil dari perkebunan kelapa sawit yaitu PP No 38 tahun 2023 tentang DBH Sawit.
selama ini kita hanya mendengar dana bagi hasil minyak dan gas dana bagi hasil dari tambang dan dari sektor lainnya yang disebut dengan penerimaan negara bukan pajak atau PNBP.
DBH Sawit ini diharapkan dapat digunakan untuk pembangunan daerah dekat kebun sawit, untuk menciptakan keadilan bagi seluruh daerah di Papua dan juga di Indonesia yang lainnya yang daerahnya banyak ditanami atau dibuka kebun kebun kelapa sawit, bangun juga kawasan industri sawit dan ekspor langsung dari Papua agar PPh badan dan pungutan ekspor ditarik oleh Papua.(Editor:Rayar)